Kirab ini dimulai dengan rombongan Bergodo mengangkat raja dengan
tandu berjalan melawanarus kali Code. Didepan iringan raja, tetua
kampung membacakan doa sembari menabur bunga sepanjang perjalanan
melawan arus sungai.
Kepala Desa Brontokusuman, Pardian menerangkan, kirab ini pertama
kalinya diselenggarakan di Brontokusuman. Selain untuk nguri-uri
kebudayaan. Kirab ini juga sebagai simbol perjuangan serta perlawanan
budaya lokal terhadap budaya asing yang mulai masuk ke sendi-sendi
bangsa.
“Kirab Bergodo Kusumengyudha dan merti Tumpeng Robyong ini pertama
kali kami lakukan, tema yang diangkat adalah Raja Melawan Arus yang
menjadi simbol perlawanan terhadap budaya,” jelas Pardian.
Menurut Pardian, pembentukan Bergodo Kusumengyudha ini diharapkan
menjadi langkah awal bagi warga Brontokusuman untuk turut serta mengawal
kelestarian kebudayaan Jogja.
“Daerah Brontokusuman banyak kampung wisata, secara langsung kami
bersinggungan dengan wisatawan luar yang membawa budaya baru, selain itu
ini juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan karena banyak kampung
wisata disekitar sini seperti di prawiro taman,” ujar Pardian yang
memerankan diri sebagai raja dalam kirab bertema “Raja Melawan Arus”.
Kirab budaya ini mendapat sambutan baik dari sejumlah warga. Hal ini
terlihat dari antusiasme warga yang datang untuk menyaksikan proses
kirab budaya tersebut. Salah satunya adalah Widiyati seorang ibu rumah
tangga yang menyempatkan diri untuk melihat kirab di kampungnya
tersebut. Widiyati melihat kirab budaya ini berbeda dengan kirab yang
biasa dilakukan.
Menurutnya tema raja melawan arus harus menjadi refleksi bagi warga
untuk terus merawat kebudayaan. Selain itu, ia berharap dibentuknya
Bergodo Kusumengyudha ini bukan sekedar simbol saja. Tapi harus
direalisasikan dalam kehidupan.
“Semoga Bergodo ini bukan hanya simbolisasi perlawanan saja, tapi
benar-benar menjadi perlawanan terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarkat seperti kemiskinan,”
Posting Komentar