Hal tersebut diceritakan oleh Sono Karmadi, juru kunci makam Eyang
Loko Joyo, di kawasan Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, saat ditemui Koran Muria,
Senin (4/11). Sono mengatakan, ketika itu Sengkuni masih hidup.
”Sengkuni mengerang kesakitan. Werkudara menjadi ngeri dan ketakutan.
Walaupun sudah luka berat, Sengkuni tidak mati-mati,” katanya.
Lalu Prabu Kresna meminta Werkudara bisa menyempurnakan kematiannya.
Werkudara akhirnya mengerti keadaan ini, dikarenakan kesaktian lengo tolo atau minyak tolo, yang dioleskan kesekujur tubuh Sengkuni. Setelah terkelupas kulitnya, akhirnya Sengkuni pun gugur.
Tersebut adalah cerita klasik yang beredar di masyarakat. Ini juga
yang mewarnai suasana Suranan di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, yang
ramai oleh pendatang. Banyaknya punden atau petilasan pertapaan tokoh-tokoh pewayangan yang konon melarikan diri di sana, menjadi magnet tersendiri kedatangan mereka.
Cerita yang lain datang dari pengunjung yang bekerja di Jakarta
sebagai mandor bangunan. Ia mendengar dari kawannya di Kudus bahwa Eyang
Lokojoyo yang tak lain adalah nama muda dari Sunan Kalijaga. Dia
berbadan kekar dan kuat, sehingga berhadap mempunyai kondisi fisik
demikian.
Tampak pelat nomor kendaraan roda empat dari pengunjung luar daerah
berasal dari Semarang, Jakarta, Purwokerto, Blora, Rembang, dan Jepara.
Dari jalan menuju Rahtawu juga terlihat pengunjung yang berjalan kaki,
bahkan ada yang mengajak anaknya. Ritualnya beraneka ragam. Di sungai
Rahtawu pengunjung mandi, bahkan menjelang petang sebagian pengunjung
mandi dalam keadaan bugil di pinggir sungai sebelum beranjak ke
petilasan.
Mbah Sono mengatakan, di Rahtawu terdapat banyak petilasan tokoh yang
dikeramatkan sampai di Puncak 29. Di antaranya petilasan Eyang Sakri,
Eyang Lokajoyo, Eyang Abiyoso, dan sumber air Bunton yang berada di
bawah Puncak 29. Bunton adalah mata air terbesar di Desa Rahtawu,
jaraknya 7 kilometer dari balai desa setempat.
”Pada malam 1 Suro, mata air Bunton mengeluarkan lengo tolo yang bentuknya air bekas mencuci beras sebelum ditanak. Minyak ini atau lengo tolo dipercaya digunakan azimat kekebalan. Sebetulnya lengo tolo bisa keluar pada hari-hari tertentu,” kata Mbah Sono.
Mbah Sono juga membenarkan pendapat itu bahwa lengo tolo
banyak diburu oleh pengunjung. Tetapi anehnya, orang yang memburu
kerapkali tidak mendapatkan, sementara orang yang tidak berniat memburu
malah mendapatkan.
Selain itu Giri Kalong, salah seorang perwakilan pemuda yang menjaga
tiket masuk, mengatakan pengunjung tahun ini diperkirakan mencapai
10.000 lebih. Karena pada tahun kemarin sebesar 6.000 pengunjung dilihat
dari jumlah tiket yang dijual. ”Baru dua hari ini saja tiket sudah
terjual 3.500 tiket. Kita tarif per orang 2 ribu dan untuk mobil 3.000,”
kata Giri.
Seorang pengunjung bernama Mustaqim, dari Demak, mengatakan
mendatangi Rahtawu pada malam 1 Sura sejak tahun 1990. Mustaqim yang
datang sendirian di petilasan Eyang Lokojoyo mengaku berdoa di tempat
tersebut, untuk keselamatan keluarga dan kelancaran dagang yang
dilakoni. ”Saya berharap adanya hidup yang lebih baik,” ujarnya.
Menurut Dosen Psikologi Universitas Muria Kudus M Widjanarko, warga
yang hadir mempunyai ikatan psikologi terhadap petilasan yang ada.
Sehingga ketika mereka datang akan menuju petilasan yang mempunyai makna
personal. ”Seperti sebuah magnet, petilasan yang ada di Rahtawu menarik
warga yang pernah mengunjunginya. Meski terpisahkan jarak yang jauh,”
katanya.
Posting Komentar