Banjir
di Jakarta yang terjadi saat ini cukup parah. Banyak jalur angkutan
lalu lintas yang terputus dan dialihkan ke jalur lain yang menambah
kemacetan. Di beberapa tempat banjir mencapai ketinggian 2 meter. Lebih
dari 11 ribu jiwa terkena dampak langsung. Di beberapa tempat listrik
dipadamkan yang membuat kehidupan sementara bertambah sulit.
Jakarta
memang termasuk kota yang rawan banjir. Setiap tahun selalu didatangi
air bah ini di musim hujan. Banjir kali ini punya makna khusus karena
berbarengan dengan tahun politik di mana pemilu legislatif dan eksekutif
bakal dihelat.
Lawan-lawan
politik Gubernur Jokowi yang digadang-gadang banyak orang sebagai calon
presiden sudah pasti telah menyiapkan serangan dengan “amunisi banjir”.
Dengan adanya banjir, mereka punya amunisi baru untuk melancarkan
aksinya. Selama ini para elite politik dari berbagai parpol selalu
melancarkan serangan dengan “amunisi blusukan,” “amunisi pencitraan,”
dan amunisi lainnya.
Lihat
saja Ruhut Sitompul pemeran sinteron “Poltak Si Raja Minyak” itu
langsung tanpa menunggu waktu lama mengeluarkan pernyataan yang
mengkritik Jokowi. Politikus dari Partai Demokrat itu, kembali mengkritik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia menilai kerja blusukan
yang dilakukan Jokowi selama ini tidak berpengaruh apa pun terhadap
upaya pencegahan banjir. Hari ini sebagian wilayah Jakarta terendam
banjir akibat hujan deras yang mengguyur Ibu Kota dan sekitarnya (Kompas.com, 13/1/2014).
“Terbukti blusukan-nya percuma, satu tahun, gimana mau mengurus Indonesia kalau mau mengurus Jakarta saja tidak bisa?” kata Ruhut sebagaimana dikutip Warta Kota, Senin (13/1/2014).
Efek pendzoliman berperan kembali
Dalam
percaturan politik kita, orang masih ingat saat SBY naik takhta menjadi
presiden terutama juga disebabkan adanya anggapan bahwa SBY telah
didzolimi, selain pencitraan yang efektif dan sosok fisik yang menawan.
Efek pendzoliman ini sangat kuat membangun persepsi di benak publik.
Dengan persepsi yang terbentuk ini publik akhirnya menggunakannya
sebagai preferensi dalam pemilu presiden.
Para lawan politik Jokowi mestinya menggunakan issue-issue yang lebih logis. Mereka juga perlu mengkonstruksikan issue-issue
dengan lebih halus dan cerdas. Tetapi, selama ini para elite yang
berniat menyingkirkan Jokowi dari bursa capres malah mengusung issue-issue yang di mata publik justru tidak masuk akal.
Mereka,
misalnya menyalahkan Jokowi atas terjadinya penyadapan SBY dan para
petinggi pemerintahan RI oleh Australia, menyalahkan Jokowi atas
kemacetan di Jakarta, menganggap blusukan sebagai buang-buang waktu saja, menganggap Jokowi melanggar HAM ketika menggusur penduduk waduk Ria Rio.
Cara-cara
seperti itu di mata publik, dianggap sebagai cara yang kekanak-kanakan
dan sangat naif. Di mata para pendukung Jokowi sendiri cara-cara seperti
itu dapat digunakan sebagai senjata bagi serangan balik kepada haters Jokowi. Sepertinya para elite pembenci Jokowi tidak menyadari bahwa move politik mereka justru dapat membangkitkan kembali efek pendzoliman yang menjadi blessing in disguise bagi SBY.
Efek
pendzoliman menjadi semakin kuat oleh penampilan Jokowi yang terkesan
tidak melawan dan tidak menanggapi balik secara negatif. Publik
menganggap respon Jokowi terhadap serangan-serangan yang ditujukan
kepadanya sebagai kredit poin bagi Jokowi. Ini dapat dilihat dengan
semakin tingginya elektabilitas Jokowi dari waktu ke waktu.
Korban banjir justru doakan Jokowi jadi presiden
Dengan
adanya banjir pihak yang paling menderita adalah para korban yang
rumahnya tergenang air. Mereka harus kehilangan banyak barang berharga
karena rusak, kurang tidur dan kemungkinan terkena penyakit, malahan
tidak sedikit yang harus mengungsi akibat rumahnya tidak bisa ditempati
lagi.
Jika
kepada mereka diminta menyebutkan siapa yang harus dipersalahkan, masuk
akal apabila mereka menyalahkan Jokowi sebagai kepala daerah yang
bertanggung jawab terhadap warganya agar terhindar dari banjir. Namun,
kenyataannya malah sebaliknya.
Tatkala
Jokowi mengunjungi korban banjir, ia sempat berbincang-bincang dengan
warga korban banjir. Di sela-sela pemberian bantuan Jokowi menyempatkan
untuk memberikan nasihat selayaknya.
Menjawab
nasihat Jokowi, warga langsung mendoakan mantan Walikota Surakarta
tersebut. “Semoga Pak Jokowi jadi presiden, sukses terus, dan sehat,”
kata para korban banjir (TribunNews.com, 13/1/2014).
Doa
warga korban banjir ini tentu menjadikan fakta ini sebagai paradoks
dengan kecaman-kecaman elite tertentu terhadap Jokowi. Pihak yang
menjadi korban banjir saja mendoakan Jokowi menjadi Presiden. Padahal
biasanya korban mengeluhkan kondisi atau menyalahkan pejabat yang
berwenang.
Dampak
dari fakta korban mendoakan Jokowi terhadap posisi Jokowi sebagai nama
yang sering disebut sebagai capres ini menambah kredit poin lagi
baginya. Lagi-lagi persepsi publik terhadap Jokowi bertambah positif
karena adanya fakta ini.
Memperkuat dorongan Jokowi jadi presiden
Sepintas
upaya mengkorelasikan doa warga korban banjir dengan kemungkinan Jokowi
menjadi presiden tampaknya merupakan upaya yang lugu dan palsu. Tetapi,
fakta ini akan terlihat kuat manakala disinergikan dengan fakta-fakta
penyebab menguatnya elektabilitas Jokowi. Jadi, fakta doa warga ini
tidak dapat dianalisis sebagai variabel yang terpisah dari
variabel-variabel penguat dukungan terhadap Jokowi lainnya.
Doa
warga tidak serta-merta muncul sebagai ungkapan basa-basi karena hal
itu terlontar di saat seharusnya berkebalikan dengan fakta itu. Doa ini
muncul karena para warga korban banjir sudah memiliki
preferensi-preferensi yang cukup kuat. Di benak mereka telah ada
persepsi awal bahwa Jokowi merupakan orang yang tepat untuk menjadi
presiden bagi mereka.
Tentu
saja terlalu prematur mengatakan Jokowi akan menjadi presiden. Masih
terlalu banyak dan besar halangan yang menghadang pencapresan Jokowi.
Izin “Godmother” partainya Jokowi, kesanggupan Jokowi sendiri, kecukupan
perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif (jika judicial review
Efendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra tidak disetujui MK), terjadinya
peristiwa besar yang menyebabkan dukungan publik kepada Jokowi menjadi
merosot, kecurangan yang mungkin terjadi untuk menjegal Jokowi, atau
peristiwa besar yang menguntungkan lawan politik Jokowi, seperti Prabowo
atau Wiranto, misalnya, merupakan hal-hal yang harus diatasi agar
Jokowi dapat menjadi capres.
Bagi
tokoh-tokoh partai dan elite-elitenya yang ingin menggusur Jokowi
hendaknya memikirkan kembali strateginya. Strategi naif dan
kekanak-kanakan yang selama ini digunakan harus sudah ditanggalkan.
Strategi terbaik bagi yang ingin menjadi lawan yang kuat bagi Jokowi
adalah tindakan atau program yang dapat meyakinkan publik bahwa mereka
adalah capres yang paling tepat daripada Jokowi. Apakah akan ada yang
berhasil? Waktu yang akan menjawabnya.
Posting Komentar