Didid Endro S, saat Pembacaan Puisi “ Adipura dan Tiga Putri ” |
Selarik luka
Memerah pada ruang
Tak terukur seberapa dalamnya
Siapa berulah di bundaran
Adipura tergusur roboh terjungkal
Bercucuran keringat jepara
Tersengal nafas berkejaran
Menangkapi tulang belulang
Berserakan di pintu pintu gerbang
Di pinggir jalan dan selokan
Adipura roboh terjungkal
Berganti wajah lepas dari akal
Patung tiga putri
Satu ganjalan membuang arti
Kartini sang pahlawan emansipasi
Kalinyamat catatan sejarah harus diingat
Ratu shima di mana kau berada
Wajah tanpa rupa tangkapan metafisika
Bagaimana bisa terlogika
Tanpa wujud yang bisa terbaca
Selarik luka makin menganga
Bundaran ngabul menyimpan cerita
Kepentingan proyek berkedok budaya
Berjuta mata terkelabuhi
Tak satupun hati hendak mengkaji
Hasil meditasi diamini
Adipura tak lagi punya arti
Kerja keras dan perjuangan tersakiti
Demi gengsi dan ambisi
Selain menumbangkan tugu Adipura sebagai bukti perjuangan seluruh masyarakat Jepara, pembuatan patung wajah Ratu Shima diambil dari hasil meditasi tokoh spiritual. Maka dibacakanlah puisi tersebut ketika ia membuka acara malam Penganugerahan Pemenang Lomba Baca Puisi Kreatif ke-5 dan Peluncuran buku puisi “Membaca Jepara” jilid-2 di halaman sanggar Gaperto Art Community (GAC) Mlonggo miliknya.
Dalam pengantarnya, Didid menyampaikan bahwa, puisi adalah salah satu karya kesusasteraan dan sastra merupakan anak kandung dari kebudayaan. Dengan demikian, karya puisi sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari latar belakang kebudayaan masing-masing penulisnya. Meskipun berada dalam satu wilayah geografis yang sama, akan tetapi masing-masing individu memiliki pengalaman spiritual yang berbeda.
Keanekaragaman pengalaman spiritual tersebut, lanjutnya, memerlukan wadah penuangan agar kesaksian tidak terbuang sia-sia bahkan kehilangan makna.
“Kita ini kan dipaksa masuk dalam ruang ambiguitas (ketidaktentuan) yang berdampak pada kecenderungan untuk bersikap apatis terhadap persoalan di sekitar, dan plin plan. Dampaknya tidak sekedar menyodorkan masa depan yang buruk, tetapi meninggalkan jejak frustasi atas perusakan dan pemberangusan martabat kemanusiaan. Di mana peristiwa ini sangat membutuhkan pertanggungjawaban melalui ungkapan kebenaran sejarah serta pengakuan-pengakuan kemanusiaan secara tuntas sebelum terkubur oleh tumpukan pesta-pesta fiktif”, paparnya.
Melalui karya puisi yang terangkum dalam Buku Puisi “Membaca Jepara” jilid 2 ini, diharapkan dapat dilihat, bahwa di kota ini masih banyak menyimpan potensi yang dapat digali dan dikaji, bahkan sebagai bentuk pelurusan tentang kebenaran sejarah atas pemberangusan martabat kemanusiaan. Karena puisi bukanlah sekedar catatan buku harian, tetapi ungkapan kejujuran yang berlandaskan pada moral kebudayaan. Sehingga kesadaran-kesadaran atas hutang kebenaran yang belum terbayar kepada publik, akan terbuka dan dipertanggungjawabkan serta duakui sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan.
“Inilah salah satu cara mencegah kealpaan sejarah, membutakan mata serta membebaskan diri dari kedangkalan pikir yang sulit disuarakan. Apalagi, mengungkap kebenaran bukanlah dendam. Mengungkap kebenaran juga bukan sebuah kejahatan. Melainkan sebuah sikap tidak ingin remuk berkepanjangan. Saatnya bangkit bersama dengan mengingat segala peristiwa, karena mengingat merupakan jalan menuju kehidupan yang lebih baik”, tandasnya.
Selanjutnya, Art and Theatre Director GAC ini menyampaikan bahwa buku puisi “Membaca Jepara” jilid-2 ini adalah perwujudan dari cita-citanya sebagai aktifis kesenian. Ia berkeinginan bisa menerbitkan satu buku setiap tahun untuk Jepara.
Dalam buku ini, setidaknya ada 152 puisi yang terangkum dari 29 penulis. Artinya, ada 152 pemikiran dan penilaian terhadap kondisi dan potensi yang ada di Jepara. Selain para penulis dalam buku tersebut, hadir pula para seniman Jepara serta beberapa penyair dari berbagi kota yakni, Tegal, Purwokerto, Semarang, Ngawi, Surakarta, Kudus, Pati, Magelang, Tulungagung, Ambarawa, Kendal, dan Jakarta.(RIZ).
Posting Komentar