Bagi orang Jawa, kalender penanda pergantian tahun mereka disebut
sebagai Suro. Dalam tradisi ini, berbagai laku digelar sebagai sarana
untuk instropeksi diri dan mendekatkan diri pada sang pencipta. Beberapa
laku yang dijalani seperti labuhan, merti dusun, hingga yang paling jamak dilakukan oleh masyarakat Jogja dan Solo pada khusunya, yakni mubeng benteng.
Kesakralan bulan Suro hingga saat ini masih dipegang teguh. Masyarakat
bahkan enggan menggelar acara-acara besar dan sakral lain seperti halnya
pernikahan.
Hajatan yang digelar saat Suro memang sangat dihindari. Tidak
diketahui secara pasti sejak kapan kepercayaan ini dimulai. Namun
terdapat beberapa cerita atau mitos yang melatari hal ini seperti kisah
penguasa laut selatan Nyi Roro Kidul. Konon, setiap menjelang Suro Nyi
Roro Kidul menggelar sebuah hajatan besar-besaran guna merayakan
pernikahan. Oleh karena itu jika ada orang yang berani mengggelar pesta
berbarengan dengan hajatan Roro Kidul akan dikutuk dan dirundung duka
berkepanjangan.
Dalam buku Perspektif Jawa Islam yang ditulis oleh Muhammad
Sholikin, orang Jawa memandang bulan Suro sebagai bulannya Tuhan yang
sudah selayaknya dimuliakan. Sehingga manusia dipandang tidak layak atau
terlalu lemah untuk mengadakan hajatan di bulan yang suci ini.
Menariknya, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pandangan mengenai
mereka yang dipandang kuat dan mampu meyelenggarakan hajatan saat Suro
yakni tidak lain ialah raja atau sultan. Sehingga ada anggapan bahwa
bulan Suro adalah bulan hajatan bagi keraton, sehingga jika ada rakyat
biasa yang berani mengadakan acara serupa akan kualat.
Sedikit pembuktian mengenai kepercayaan ini, jika kita menyewa jasa
penyelenggara pernikahan saat Suro pasti kebanyakan akan ditolak. Banyak
dari perusahaan jasa tersebut yang menolak secara halus, bahkan
berbohong jika alat yang disewakan sedang dipakai acara lain. Tidak
percaya? Sila buktikan sendiri.
Semuanya tetap dikembalikan pada diri kita masing-masing. Sejatinya,
dalam pandangan agama apa pun semua hari merupakan hari yang baik. Di
satu sisi, adalah kewajiban kita sebagai generasi muda untuk tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai lokal sebagai penanda suatu identitas.
Posting Komentar