
Pernyataan
yang disampaikan itu sejalan dengan petikan surat Ar-Ruum: 41. Telah nampak kerusakan di darat dan di
lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar).
Sehingga
Kiai Makruf mengartikan manusia sebagai menungso,
menus-menus kakean dosa. Menurut pengasuh pesantren Walisongo Sragen ini
bencana merupakan “ayat” yang tidak tertulis namun bisa dibaca. Air misalnya
berjalan sesuai sunnatullah menuju
dataran rendah.
Manusia
yang tertimpa musibah lanjutnya harus mengambil hikmah. Caranya, kiai yang
sering membawakan syair-syair jawa ini mengimbau bahwa semua bencana yang
diturunkan ialah kersane (keinginan,
red) Allah. “Kita semua harus percaya qada’
qadar Allah SWT,” imbaunya kepada ribuan jamaah yang hadir.
Bencana
masih menurutnya adalah kersane Allah
yang baik. Kiai Asal Sragen ini menambahkan agar kersane Allah sahe, baik
manusia agar semakin mendekatkan diri kepadaNya, laiknya anak yang dekat dengan
orang tuanya. “Atine kudu eleng neng
Allah, akeh-akeh anggone Istighfar
lan ibadah,” tambahnya.
Tujuan dari
itu agar manusia mendapatkan welas asih, belas
kasihan dari Allah. Untuk mendapatkan welasNya dengan memperbanyak istighfar.
Nabi Muhammad contohnya meskipun didaulat jauh dari dosa masih beristigfar
sehari lebih dari 100 kali. Kedua, perbanyak sedekah sebagai tadfaul bala’, penolak balak. Ikhlas memberi
dan menerima. Ketiga, berhenti berbuat maksiyat getun, kapok (tidak mengulangi lagi, red).
Kiai
Makruf juga membacakan fatihah harapannya bencana yang terjadi menjadi bentuk
kasih sayang Tuhan kepada hambanya. “Membaca Fatihah itu tergantung yang
membaca. Mudah-mudahan musibah yang menimpa kita semoga saja sebagai kasih sayang
Allah kepada hambanya,” doanya. (Syaiful
Mustaqim)
Posting Komentar